Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

PENDIDIKAN SPRITUAL PADA PERINGATAN HARI RAYA IDUL FITRI

Pada setiap 1 syawal kita berhari raya idul fitri, setelah berpuasa sebulan penuh dalam mengendalikan dan mengalahkan hawa nafsu yang membawa pada keburukan dan kesengsaraan dunia dan akhirat. Dengan pengendalian hawa nafsu tersebut maka hari itu rohani kita dalam keadaan fitri, bersih dari noda dan dosa bagai bayi yang baru lahir dari perut ibu.
Hal ini yang dimaksudkan dengan firman Alloh yang berbunyi :
Al-a’la 87:14-15
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى (١٤)وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى (١٥)
Artinya: Sungguh berbahagialah orang yang telah mensucikan jiwanya, kemudian memuji nama Alloh SWT dan kemudian menunaikan shalat.

Berkenaan dengan hari raya idul fitri ada beberapa hal yang perlu direnungkan dalam pesan, makna, hikmah, dan pelajaran yang terkandung didalamnya untuk kita gunakan sebagai sumber motivasi untuk membangun kehidupan di masa sekarang dan masa depan yang lebih baik dan lebih maju dalam segala bidang.Berkenaan dengan ini ada beberapa hal yang perlu kita catat.

Pertama, dilihat dari segi waktu.Hari raya idul fitri dilaksanakan pada tanggal 1 syawal. Dari segi bahasa Syawal yang berarti peningkatan. Hal ini berarti bahwa kita dilatih berpuasa sebulan penuh yang langsung berada dibawah pengawasan Alloh SWT, Yang harus dibuktikan dengan menunjukan hasil didikan, latihan, training, dalam bentuk peningkatan dan kemajuan dalam segala bidang.Hal ini perlu kita renungkan dimasa yang akan dating, sebagaimana yang diperkirakan para ahli akan ditandai semakin banyak tantangan yang harus dipecahkan umat manusia, sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, serta cara berfikir manusia itu sendiri. Kondisi yang demikian, yang pada akhirnya menuntut manusia harus semakin berkualitas baik fisik maupun intelektual dan moralitasnya, sehingga ia dapat mempersembahkan karya-karya terbaiknya bagi umat manusia yang lain. Hal ini sejalan dengan firman Alloh SWT :
Al-Mulk 67:2
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ (٢)
Artinya: (Tuhan) yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.

Tentang pentingnya persembahan karya-karya yang terbaik tersebut dan berupaya melakukan peningkatan dan kemajuan dari hari ke hari, merupakan etos kerja dan semangat yang akan ditekankan dalam ajaran islam. Rasululloh SAW mengingatkan kepada umatnya sebagai berikut.

Artinya: Barangsiapa yang karyanya hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka ia tergolong orang yang beruntung, dan barangsiapa yang karyanya hari ini sama dengan hari kemarin, maka ia tergolong orang yang merugi, dan barangsiapa yang karyanya hari ini lebih buruk dari hari kemarin, maka ia tergolong orang yang celaka.

Sehubungan dengan barang-barang yang serba baru seperti busana, sepatu, dan lainnya yang lazimnya dipakai di Hari raya idul fitri, hendaknya lebih dilihat sebagai simbol yang menandai kembalinya pada semangat, etos kerja, dan moralitas ketakwaan yang semakin meningkat. Nabi Muhammad SAW mengingatkan:

Artinya: Hari raya (yang sesungguhnya) bukan ditujukan bagi orang yang semata-mata mengenakan pakaian serba baru, tetapi hari raya yang sesungguhnya adalah bagi orang-orang yang ketaatannya (takwa) semakin meningkat. (Qaul al hukama’)

Semangat dan etos kerja yang demikian itulah yang harus kita tangkap dan kita resapkan dari pesan Hari Raya Idul Fitri. Hal ini penting diungkap mengingat dalam kenyataan. Bahwa keseluruhan etos kerja bangsa Indonesia masih di bawah etos kerja bangsa-bangsa lain di Asia seperti Jepang, Thailand, Hongkong, Cina, serta bangsa lain didunia. Akibat dari keadaan ini terjadilah suatu hal yang sangat ironis, yaitu sebagai bangsa yang memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah tapi bangsa kita sendiri masih kekurangan pangan, bahkan sampai mengimpor  kebutuhan pokok pangan seperti beras, garam, kacang kedelai, bahkan juga daging dan buah-buahan. Keadaan ini dan sikap penduduknya dalam mengelola sumber alam mirip dengan apa yang digambarkan oleh Alloh SWT dalam ayat yang berbunyi:

Al-Nahl 16:112
وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلا قَرْيَةً كَانَتْ آمِنَةً مُطْمَئِنَّةً يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللَّهِ فَأَذَاقَهَا اللَّهُ لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ (١١٢)

Artinya: Dan Alloh SWT telah membuat perumpamaan (dengan) suatu Negara yang aman dan tentram, yang rezeki (kekayaannya) datang melimpah ruah dari setiap penjuru, namun kemudian (penduduknya) mengingkari nikmat Alloh, kemudian Alloh menimpakan adzab kepada negeri tersebut berupa perasaan lapar dan rasa takut yang disebabkan karena perbuatan mereka sendiri.

Kedua, untuk mencapai kemajuan dalam arti yang seimbang dan menyeluruh antara bidang material dan spiritual sebagaimana disebutkan diatas, kita telah memiliki tiga modal yang amat funfamental dan universal yang dihasilkan melalui didikan selama bulan ramadhan.

Pertama, modal keimanan dan akidah yang tulus, kokoh, dan terhujam dalam hati serta kebersihan jiwa yang dihasilkan melalui proses ibadah puasa yang kita kerjakan. Iman yang demikian itulah yang akan menimbulkan etos kerja tanpa pamrih, jujur, ikhlas, pantang menyerah, dan berani berkorban sebagaiman diperlihatkan Rasulloh SAW dan para sahabatnya serta para pejuang dimasa lalu. Iman yang demikian itulah yang menyebabkan seorang berani menyatakan minta maaf ketika melakukan kekeliruan, menegakan hukum secara adil dan peduli terhadap nasib orang lain. Dalam kitab al-Hayat wa al-iman, Yusuf al-Qardawi menceritakan tentang hubungan dan pengaruh keimanan yang kokoh terhadap keberanian menyatakan kesalahan dan kekeliruan, kemudian bersedia mohon maaf dan menerima hukuman Tuhan. Inilah yang diperlihatkan oleh seorang wanita bernama al-Ghamidiah yang rela dihukum rajam (dilempari batu) karena kesalahan melakukan perbuatan zina, dan juga ditunjukan oleh khalifah Ali bin Abi Tholib ketika menerima keputusan kalah dalam pengadilan yang dipimpin oleh Hakim Syuraikh, karena kasus kehilangan baju besinya. Padahal sebagai khalifah saat itu Ali bin Abi Tholib dapat mempengaruhi Syuraikh untuk mengambil keputusan yang menguntungkan dirinya sebagai khalifah. Namun hal itu tidak dilakukan oleh khalifah Ali bin Abi Tholib karena keimanannya kepada Alloh SWT yang menyebabkan ia harus tunduk pada keputusan pengadilan. Keimanan yang demikian pula yang menyebabkan para sahabat Rasulloh SAW berani berjuang menegakan agama Alloh SWT dan kebenaran melalui serangkaian peperangan yang merenggut jiwa.
Selanjutnya kebersihan jiwa dari perbuatan dosa dan maksiat yang telah dihasilkan melalui ibadah puasa , diharapkan dapat memunculkan akhlak mulia dan bekal menghadap Alloh SWT diakhirat nanti pada saat tidak ada gunanya harta benda serta anak keturunan kecuali mereka yang dating menghadap Alloh SWT dengan jiwa yang bersih. Dalam hubungan ini Alloh SWT mengingatkan:

A-Syu’ara 26: 88-89
يَوْمَ لا يَنْفَعُ مَالٌ وَلا بَنُونَ (٨٨)إِلا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ (٨٩)
Artinya: Pada hari itu tidak lagi berguna harta dan anak keturunan, kecuali mereka yang datang menghadap Alloh SWT dengan hati dan jiwa yang bersih.
Jiwa yang bersih kita perlukan karena jiwa yang demikian itulah yang menyebabkan timbulnya perbuatan yang jujur, ikhlas, dan benar. Sebaliknya dari jiwa yang kotor akan timbul perbuatan curang, licik, dan penuh kedustaan. Dalam hal ini Rasulloh mengingatkan kepada kita melalui sabdanya yang berbunyi:
Al Hadist H.R. Bukhari dan Muslim

Artinya: Bahwa sesungguhnya dalam jasad itu terdapat mudlghah (segumpal darah), jika mudlghah itu sehat, maka sehatlah seluruh amal jasad itu, dan jika mudlghah itu rusak maka rusaklah seluruh amal itu. Ingatlah bahwa mudlghah itu adalah hati sanubari.
Sehubungan dengan itu pada saat hari raya hendaknya menjauhi perbuatan-perbuatan yang dapat merusak iman dan mengotori jiwa yang fitri seperti berpesta foya, meminum minuman keras, berjudi, berzina dan perbuatan maksiat lainnya.Perbuatan tersebut disamping menjadi pangkal mala petaka kehacuran moral umat manusia, juga tidak sejalan dengan semangat dan pesan kesucian Idul Fitri. Minuman keras, berjudi, berzina merupakan larangan Tuhan yang amat tegas dan jelas, serta dapat menimbulkan permusuhan, kebencian dan bersahabat dengan setan. Alloh SWT mengingatkan:

Al-Maidah 5:91
إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ (٩١)
Artinya: Sesungguhnya setan itu menghendaki timbulnya permusuhan dan kebencian yang disebabkan karena minuman keras dan berjudi.
Sedangkan tentang perbuatan zina dengan tegas dinyatakan dalam Al-Qur’an:
Al-Isra 17:32

وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلا (٣٢)   

Artinya: Dan janganlah kamu menghendaku zina karena zina itu adalah perbuatan buruk dan menjijikan serta merupakan cara yang buruk pula.

Kedua, untuk meraih kemajuan yang dihasilkan oleh ibadah puasa dan hikmah Hari Raya Idul Fitri, adalah solidaritas social dan silahturahmi. Solidaritas sosial tersebut dilambangkan dengan mengeluarkan zakat fitrah diakhir selesainya puasa, sedangkan hubungan silahturahmi ditandai dengan saling mendoakan dan memaafkan pada saat berhari raya Idul Fitri. Rasulloh SAW menganjurkan bahwa sesame kaum muslimin di hari raya ini agar saling memaafkan dan saling mendoakan dengan mengucapkan:

Artinya : Semoga kita termasuk orang yang kembali pada kesucian diri dan termasuk pula orang-orang yang beruntung, serta selalu berada dalam kebaikan sepanjang tahun.

Dengan pesan solidaritas sosial dan silahturahmi maka momentum hari raya, kita gunakan untuk memperkokoh kembali tali persaudaraan sebagai manusia (ukhuwah Islamiyah). Ketiga macam ukhuwah ini mungkin saja sudah mulai retak hampir putus atau bahkan sudah putus sama sekali yang disebakan karena benturan kepentingan politik, perbedaan pandangan, persaingan bisnis, perebutan kedudukan serta hal-hal lain yang bersifat duniawi serta memuaskan hawa nafsu sesaat saja. Kita upayakan jangan sampai hal-hal yang bersifat duniawi yang sementara itu dapat merusak ajaran agama dan solidaritas serta silahturahmi yang merupakan ajaran dasar islam yang telah gemilang dizaman Rasulloh SAW. Inilah yang menyebabkan Rasulloh SAW berhasil mempersatukan bangsa Arab yang telah terpecah belah menjadi bersatu kembali. Dan ini pula yang disebutkan oleh Husain al-Muslimin dalam bukunya Mazda Khasira al-‘Alam bi Inhithah al-Muslimin (Apa Kerugian yang Diakibatkan oleh Kemerosotan Kaum Muslimin), menyebabkan bangsa Turki yang dipimpin oleh Sultan Mahmud II di abad ke-11 dapat menaklukan Konstantinopel yang terkenal tangguh dalam persenjataan pada waktu itu.

Perlunya membangun solidaritas dan silahturahmi ini sejalan pula dengan fitrah manusia sebagai makhluk sosial yang dalam proses kelangsungan hidupnya, tidak ada jalan lain kecuali harus membangun kerja sama yang baik dengan seluruh umat dalam hal kebaikan dan kasih sayang. Sejak mulai dilahirkan sampai meninggal manusia membutuhkan bantuan orang lain. Sampai-sampai sosiologi Islam Ibn Khaldun dalam bukunya al-Muqaddiman mengatakan bahwa sepiring nasi yang kita santap telah melibatkan ratusan bahkan ribuan orang yang ikut andil didalamnya, yaitu dari mulai dari petani yang mencangkul, penjual benih, pembuat pupuk, pembuat alat pertanian, pembuat peralatan penggilingan padi,pembuat alat angkut, pembuat peralatan masak, juru masak, pembuat peralatan masak, juru masak, pembuat peralatan makanan, dan seterusnya.

Namun ajaran islam tentang solidaritas sosial dan silahturahmi ini belum menunjukan hasil yang diharapkan. Beberapa Negara yang sama penduduknya mayoritas Islam juga sering terjadi konflik. Dan lebih khusus lagi apa yang terjadi di tanah air kita hingga saat ini, seperti kasus Aceh, Ambon, Maluku, Irian dan lain sebagainya.Untuk itu melalui momentum hari raya ini kita menghimbau kepada saudara-saudara kita yang berada didaerah tersebut agar segera menghentikan konflik dan pertentangan itu. Karena hal itu tidak sejalan dengan semangat ajaran agama yang dianut masing-masing dan jika hal it uterus berlanjut maka akan membawa kehancuran yang mengerikan. Nabi Muhamamad SAW mengingatkan dalam haditsnya tentang tiga perbuatan yang paling utama dari yang paling utama, yaitu: Pertama, mau memberikan sesuatu kepada orang yang bakhil (tidak mau memberi). Kedua, mau memaafkan terhadap orang yang berbuat dzalim. Ketiga, menghubungkan tali silahturahmi kepada orang yang memutuskan hubungan. Hal tersebut dinyatakan dalam hadits riwayat Ibn Mubarak sebagai berikut:
Hadits H.R Ibnu Mubarak

Artinya: Yang lebih utama dari serangkaian yang utama adalah engkau menyambung tali silahturahmi dengan orang yang memutuskan hubungan denganmu, memberi sesuatu terhadap orang yang tidak mau memberi sesuatu kepadamu, dan memaafkan kesalahan terhadap orang yang berbuat aniaya terhadapmu.
Solidaritas sosial dan hubungan silahturahmi ini merupakan bagian dari ajaran Islam yang terkait dengan ibadah dalam arti formal seperti shalat, puasa, zakat dan haji serta amal kebaikan lainnya. Bahkan lebih dari itu, bahwa dosa sosial seperti berbuat aniaya, menyakiti orang lain, merampas haknya, memfitnah, memakan harta orang lain, dan sebagainya. Dapat merusak pahala ibadahyang kita kerjakan. Orang yang mengerjakan ibadah seperti shalat, puasa, zakat, dan haji tetapi melakukan dosa sosial dapat dikategorikan sebagai orang yang muflis (bangkrut) di akhirat. Dalam salah satu haditsnya Rasulloh SAW bertanya kepada para sahabat sebagai berikut:

Hadits H.R. al-Khamsah

Artinya: Tahukah kamu sekalian tentang orang yang muflis (bangkrut) di akhirat? Sahabt menjawab, bahwa orang yang bangkrut menurut kami adalah orang yang tidak memiliki uang emas, perak dan harta benda. “Rasulloh SAW menyatakan, bahwa orang yang bangkrut di akhirat adalah orang yang datang menghadap Alloh SWT di akhirat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat. Namun kemudian datang orang yang menyatakan bahwa orang yang beribadah tersebut pernah mencaci maki, menuduh tanpa bukti, memakan harta orang lain, dan menumpahkan darah (membunuh). Maka orang-orang yang dianiaya ini diberikan kebaikan pahala dari kebaikan orang yang menganiaya itu, dan apabila pahala kebaikannya sudah habis sebelum diberikan keputusan, maka diambillah keburukan dari orang yang dianiaya itu kepada orang yang menganiaya, lalu orang tersebut dilemparkan ke dalam api neraka.
Dengan memperlihatkan keterangan tersebut maka saat berhari raya ini kita gunakan sebagai momentum untuk membangun kembali solidaritas sosial dan hubungan silahturahmi. Kita harus tunjukan perhatian kepada orang-orang yang teraniaya yang jumlahnya amat banyak di tanah air kita. Mereka itu ada yang kehilangan orang-orang yang dicintainya, menjadi anak yatim yang tidak jelas masa depannya, dan lain sebagainya.

Modal ketiga untuk menyongsong masa depan yang lebih baik, adalah kembali kepada semangat ajaran al-Qur’an. Kesadaran untuk mengamalkan semangat ajaran al-Qur’an telah kita bangun kembali dalam peringatan Nuzulul Qur’an yang telah kita laksanakan di bulan Ramadhan. Semangat ajaran Qur’an tersebut, menurut Fahlur Rahman dalam bukunya Islam, yang pada intinya tentang masalah akhlak atau moralitas yang bertumpu pada ajaran dasar tentang keadilan dalam bidang politik, sosial, pendidikan, hukum dan lain sebagainya. Keempat komponen ini, yaitu pemerintahan (umara), kaum ilmuwan dan para cendekiawan (ulama), kaum yang mampu (konglomerat), dan menegakan keadilan maka dunia ini akan tegak. Dalam hubungan ini kita diingatkan hadits Nabi Muhammad yang menyatakan sebagai berikut:

Artinya: Tegakan dunia ini dibangun atas empat atas empat landasan, yaitu ilmuwan para cendekiawan, adilnya pemerintah, dermawannya kaum konglomerat, dan dukungan kaum fuqara.
Jika keempat komponen bangsa tersebut benar-benar dapat menegakan ajaran Rasulloh SAW itu, dijamin kehidupan bangsa tersebut akan kokoh dan tangguh. Namun sebaliknya apabila keempat komponen bangsa tersebut akan terancam bencana kehancuran. Adanya peristiwa kerusuhan yang ditandai oleh pembakaran gedung-gedung pusat perbelanjaan, pemerintahan, perdagangan, dan lainnya menelan korban jiwa dan harta yang tak ternilai sebagaimana yang terjadi di tanah air kita pada tahun 1998, menunjukan belum adanya kesatuan langkah dari keempat komponen bangsa tadi. Yakni antara pemerintahan dan rakyat kurang sejalan, kaum yang mampu peduli terhadap kaum yang kurang dan para cendekiawan asik dengan dunianya sendiri.

Tentang pentingnya menjaga kekompakan antara kaum cendekiawan, pemerintah, kaum konglomerat, dan rakyat dalam rangka menjaga keutuhan dan ketangguhan suatu bangsa telah diperlihatkan dalam sejarah Islam, antara lain ketika Islam Jaya di Spanyol selama kurang lebih 700 tahun lamanya. Hal ini Dr.S.M.Ziaduddin Alavi dalam bukunya, Muslim Educational Thought in the Middle Age, menginformasikan bahwa di depan pintu gerbang Universitas di Granada Spanyol tertulis satu motto; “Dunia ini ditopang oleh empat hal, yaitu pengajaran tentang hikmah kebijaksanaan, keadilan para penguasa, ibadahnya orang-orang saleh, dan keberanian yang pantang menyerah”. Motto ini tampak sejalan dengan hadits Rasulloh SAW sebagaimana telah disebutkan di atas.

Dari uraian yang singkat ini dapat disimpulkan bahwa pesan spiritual berhari raya Idul Fitri, adalah semangat perlunya tentang perlunya mewujudkan masa depan yang lebih baik dalam segala bidang kehidupan. Untuk mewujudkan hal ini diperlukan modal keimanan yang kokoh, kebersihan jiwa, membangun solidaritas sosial, silahturahmi yang kokoh serta menegakan ajaran dasar tentang keadilan dalam seluruh aspek kehidupan sesuai dengan petunjuk al-Qur’an dan al-Sunnah. Semua ini, mudah-mudahan menjadi bahan renungan kita bersama disertai tekad dan keinginan yang kuat untuk mewujudkannya, sehingga setahap demi setahap dapat memperbaiki kehidupan bangsa kita yang saat ini tengah berjuang membangun masa depan yang lebih baik, setelah sebelumnya dilanda berbagai peristiwa yang tidak diharapkan.

Posting Komentar untuk "PENDIDIKAN SPRITUAL PADA PERINGATAN HARI RAYA IDUL FITRI"