Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM

Para penulis sejarah membagi tahap-tahap perkembangan hukum Islam. Pembagian ke dalam tahap-tahap itu tergantung pada tujuan dan ukuran yang mereka pergunakan dalam mengadakan penahapan. Namun demikian, pada umumnya mereka membagi tahap-tahap perkembangan dan pertumbuhan hukum Islam itu ke dalam 5 (lima) masa berikut ini.
1. Masa Nabi Muhammad SAW (610 - 632 M)
2. Masa Khulafa’ al-Rasyidin (632 – 662 M)
3. Masa Pembinaan, Pengembangan dan Pembukuan (abad VII – X M)
4. Masa taklid, yaitu masa kelesuan dan kemunduran (abad X – XII M)
5. Masa Kebangkitan Kembali (abad XIX M sampai sekarang)

Perkembangan Hukum Islam Pada Masa Nabi Muhammad dan sahabat khulafaurrasyidin

1. Perkembangan Hukum Islam Pada Masa Nabi Muhammad SAW (610 - 632 M)

Sejak dahulu sampai sekarang kedudukan kota Mekkah sangat penting bagi kehidupan manusia. Di samping terletak di persimpangan jalan perdagangan transit seperti dikemukakan diatas, disana juga terletak rumah suci yang disebut Baitullah atau Ka’bah yang sengaja dibuat untuk tempat manusia tawaf (mengelilingi Ka’bah) dan disana juga terdapat “maqam Ibrahim’ yaitu batu tempat Nabi Ibrahim meletakkan kakinya ketika membangun Ka’bah.

Sejarah telah mencatat nama-nama manusia yang membangun suatu agama. Ada lagi orang yang disebut sebagai bapak bangsa. Disamping itu, ada pula orang-orang besar yang berhasil membangun suatu masyarakat atau negara. Jika ada orang yang berhasil membangun ketiga-tiganya sekaligus, barangkali Nabi Muhammad tidaklah istimewa dalam sejarah manusia, terutama bagi umat Islam. Akan tetapi, sejarah menunjukkan bahwa ketiga institusi atau lembaga itu dalam bentuknya yang sangat unik yang telah berhasil dibangun oleh Nabi Muhammad SAW dalam waktu yang relatif singkat, yakni dalam mkasa kurang 23 tahun. Nabi Muhammad telah menyelesaikan tugasnya dengan baik, membangun suatu agama dalam arti kata yang seluas-luasnya, membina suatu umat yang kemudian menjadi suatu bangsa serta mendirikan suatu masyarakat politik atau negara, serta meletakkan dasar-dasar budaya yang kemudian menjadi budaya Islam. Oleh karena itu, beliau memiliki kedudukan sangat penting, terutama bagi umat Islam. Dengan kata lain “apa yang dibawanya ikutilah dan apa yang dilarangnya jauhilah” (al-Hasyr : 7).

Visi hukum Islam telah dibentuk sejak Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Rasul. Sejak itulah Nabi bertugas untuk mengembangkan dan menafsirkan ayat-ayat hukum melalui ucapan, perbuatan, dan sikap diam beliau yang disebut Sunnah, yang kini dapat dibaca dalam kitab-kitab Hadits. Dengan mempergunakan kitab Al-Qur’an sebagai norma dasar, Nabi Muhammad memecahkan suatu masalah yang timbul pada masanya dengan sebaik-baiknya. Selain berdasarkan wahyu, Nabi Muhammad dalam memutuskan sesuatu berdasarkan pendapat beliau sendiri dengan sunnahnya.

2. Perkembangan Hukum Islam Pada Masa Khulafa’ al-Rasyidin (632 – 662 M)

Masa pemerintahan Khulafa’ al-Rasyidin sangat penting dilihat dari perkembangan hukum Islam, karena dijadikan model atau contoh oleh generasi-generasi berikutnya, terutama generasi ahli hukum Islam di masa sekarang tentang cara mereka menemukan dan menerapkan hukum Islam pada waktu ini. Masa ini merupakan kelanjutan dari masa Rasulullah sehingga perkembangan hukum tidak begitu banyak berubah. Penetapan hukum Islam oleh sahabat dilakukan dengan ijtihad karena setelah Rasulullah SAW wafat, kepemimpinannya berpindah kepada khulafa’ al-Rasyidin. Sebagai akibat meluasnya wilayah Islam, para sahabat menemukan berbagai peristiwa yang belum pernah terjadi pada masa Rasul. Di wilayah taklukannya, antara lain Syam, Irak, Mesir dan Persia, para sahabat menemukan berbagai peraturan yang belum mereka kenal.  Banyak tradisi dan adat-istiadat yang jauh berbeda dengan yang ada di jazirah Arab serta peristiwa-peristiwa baru yang belum pernah dijumpai di Mekkah atau Madinah, yang kesemuannya memerlukan penyelesaian menurut hukum Islam.

Untuk menyelesaikan masalah yang mereka hadapi mereka menggunakan ijtihad, yakni berusaha sungguh-sungguh dengan menggunakan segenap kemampuan yang ada dilakukan oleh orang (ahli hukum) yang memenuhi syarat untuk mendapatkan garis hukum yang belum jelas atau tidak ada ketentuan didalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah. Pada umumnya, para khalifah dalam memutuskan masalah tidak sendirian, tetapi mereka bertanya terlebih dahulu kepada sahabat lain. Sikap ini menunjukkan bahwa penafsiran terhadap Al-Qur’an bukan hak prerogatif khalifah. Selanjutnya, keputusan diambil dari hasil konsensus yang lazim disebut dengan ijma’. Jika dilihat dari luasnya wilayah Islam maka ijmak tidak mungkin dapat dilaksanakan lagi, tetapi melalui kesepakatan beberapa pemuka Islam yang dipandang mewakili keseluruhan. Konsensus menghasilkan pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah adalah contohnya. Pada saat itu, umat Islam dihadapkan pada persoalan “siapa orang yang pantas menggantikan Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin umat dan kepala negara”. Keputusan akhirnya diambil berdasarkan qiyas (analogi), dengan cara melihat posisi Abu Bakar sebagai pengganti Nabi mengimami shalat ketika beliau tidak dapat mengimami shalat karena sakit. Kadangkala keputusan khalifah ditetapkan setelah melalui adu argumentasi.

Disamping itu, masih banyak ijtihad yang dilakukan para Khulafa Al-Rasyidin, antara lain ketika para sahabat hendak membagi harta rampasan perang. Pada saat itu terjadi pendapat, apakah harta rampasan itu dibagi sama rata antara orang Muhajirin dengan orang Anshar atau tidak. Umar berpendapat : “Kami tidak menyamakan antara orang-orang yang meninggalkan kampung halaman dan harta mereka untuk hijrah mengikuti Rasulullah, dengan orang yang masuk Islam karena terpaksa”. Sedangkan Abu Bakar berpendapat bahwa : “ Mereka masuk Islam bukan karena terpaksa, tetapi karena Allah dan pahalanya pun urusan Allah. Dunia hanyalah sarana saja”. Kemudian berdasarkan ra’yu (pendapat)-nya, Abu Bakar, membagi harta rampasan sama antara orang Muhajirin dan Anshar. Kemudian ketika Umar Bin Khatab menjadi khalifah, ia membagi harta rampasan berdasarkan jerih payah masing-masing dalam berjuang.

Di masa kekhalifahan Umar Bin Khatab, Umar tidak memberikan bagian zakat kepada mualaf. Berdasarkan surat At-Taubah ayat 60 mereka berhak mendapat bagian zakat. Akan tetapi, Umar Bin Khatab tidak memberikan bagian zakat kepada mualaf. Pada hal masa Nabi Muhammad dan Abu Bakar mereka diberi bagian zakat. Terhadap mualaf Umar berkata : “Sesungguhnya Allah telah menguatkan isi hati Islam dan tidak membutuhkan kamu. Jika kamu bertaubat, silahkan, tetapi huja tidak maka antara kami dan kamu adalah pedang”. Disini Umar melihat pembagian zakat untuk mualaf pada masa lalu adalah atas dasar pertimbangan maslahat. Kini yang lebih adalah bila mereka tidak diberi zakat. Untuk alasan yang sama Umar juga pernah memutuskan bahwa talak yang dijatuhkan oleh suami, tiga sekaligus berarti jatuh talak tiga, karena pada waktu itu orang bermain-main dengan talak. Dari kasus-kasus yang sudah dikemukakan nampak bahwa dalam mengambil keputusan Umar tidak hanya berpedoman pada lahiriah nas, tetapi pada jiwa yang terkandung dalam nas wahyu.

Usman bin Affan pada waktu menjadi Khalifah juga melakukan pembukuan/penulisan Al-Qur’an dengan satu huruf (satu versi Al-Qur’an), membuang mushaf versi lain. Ini merupakan ijtihad Usman menghadapi keanekaragaman bacaan Al-Qur’an yang mengarah pada keragaman pemahaman terhadap Islam. Hal ini memungkinkan timbulnya pertentangan diantara umat Islam dan ijtihad ini pun disetujui para sahabat. Dengan adanya mushaf yang seragam bagi umat Islam diharapkan adanya keseragaman dalam membaca dan memahami ayat Al-Qur’an sehingga tidak menimbulkan perpecahan dan konflik diantara umat Islam sendiri. Karena perpecahan dikalangan umat Islam sangat membahayakan umat Islam itu sendiri. Hal ini jelas tidak diinginkan oleh Usman Bin Affan. Oleh karena itu, dengan ijtihadnya beliau diperintahkan penulisan mushaf yang dikenal dengan mushaf Usmani sebagaimana yang kita baca sekarang.

Adapun para sahabat Nabi yang ahli dibidang hukum di Madinah, antara lain adalah : Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Umar, Aisyah. Sedangkan Abdullah bin Abbas di Mekah, Abdullah bin Mas’ud bin Jabal, Ubadah bin Samit di Syam, dan Abdullah Amr bin Ash di Mesir.

Posting Komentar untuk "SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM"