Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pengertian, Istilah-istilah Baku, dan Asas-asas Hukum dalam Islam

Pengertian Dan Istilah-Istilah Baku Dalam Hukum Islam

Kata hukum, dalam Islam yang landasannya bahasa Al-Qur’an sebenarnya tidak sama persis dengan istilah hukum dalam bahasa Indonesia. Ada beberapa istilah kata hukum dalam Al-Qur’an seperti antara lain dalam ayat : “Waman lam yahkum bimaa anzalallaahu fa-ulaaika humul kaafiruun” dan ayat yang lainnya, tidak sama persis dengan yang dimaksud dengan kata hukum dalam bahasa Indonesia. Kata hukum Islam adalah kata yang sepadan dengan kata syari’ah yang kemudian disambung dengan kata Islam sehingga menjadi “syari’ah Islam”.

Secara etimologis, hukum (Arab) adalah itsbatu syai’in ‘ala syai’in (memutuskan suatu perkara berdasarkan suatu aturan). Para ahli hukum Islam mendefinisikan hukum sebagai khitab (ketentuan) Allah berkaitan dengan mukallaf, baik secara normatif berupa tuntutan dalam bentuk perintah dan larangan; pilihan maupun ketentuan konvensional.

Khitab Allah adalah seperangkat aturan yang ditetapkan melalui firman-Nya yang diwahyukan kepada umat manusia melalui Rasul-Nya. Aturan tersebut ada yang lafal dan maknanya langsung dari Allah (itulah yang disebut dengan Al-Qur’an) dan ada pula aturan yang lafalnya berasal dari Rasul yang konsepnya dari Allah adalah disebut dengan Sunnah Rasul.

Pengertian, Istilah-istilah Baku, dan Asas-asas Hukum dalam Islam


Khitab Allah ada dua macam, yaitu thalab (tuntutan) dan takhyir (pilihan). Tuntutan terbagi dua, yaitu tuntutan untuk mengerjakan (perintah) dan tuntutan untuk meninggalkan (larangan). Dari tuntutan pertama melahirkan hukum wajib dan sunah. Dari tuntutan kedua melahirkan ketentuan haram dan makruh. Sedangkan, takhyir (pilihan) melahirkan ibahah (mubah). Dalam sistem hukum Islam terdapat lima kaidah yang dipergunakan untuk mengukur perbuatan manusia baik dibidang ibadah maupun dibidang muamalah. Kelima jenis kaidah tersebut, dinamakan al-ahkam al-khamsah (hukum yang lima).

Mukallaf adalah orang yang layak menerima tuntutan. Berarti, dia sebagai sasaran hukum. Diantara ciri-ciri mukallaf adalah muslim (orang Islam), baligh dan berakal. Istilah baligh, adalah orang yang dinyatakan telah dewasa. Ada beberapa ciri seseorang itu dinyatakan telah dewasa itu. Di antara ciri-ciri orang dewasa fisik; bagi laki-laki antara lain bermimpi indah dan berkumis. Umumnya untuk orang Indonesia ciri orang dewasa tersebut berusia 15-17 tahun. Bagi perempuan ditandai dengan menstruasi (haid). Pada umumnya untuk orang Indonesia usianya antara 9 - 12 tahun.

Secara psikis, seseorang dinyatakan baligh apabila ia telah memahami ketentuan-ketentuan hukum, baik melalui perantara orang lain maupun pemahaman secara langsung. Orang-orang yang belum memahami wahyu tidak termasuk mukallaf dalam hukum Islam (Q.s. Al-Israa’/17:15).

Berakal adalah syarat berlakunya khitab. Yang dimaksud dengan yang berakal orang yang mampu memberdayakan akalnya secara proposional. Orang yang tidur atau lupa sesaat dan orang gila, dalam kondisi tidur atau lupa dan hilang kesadarannya tidak termasuk sasaran khitab. Rasulullah bersabda : “Tiga orang yang dibebaskan dari pertanggungjawaban hukum, yaitu anak kecil sebelum dewasa, orang yang tidur, dan orang yang hilang kesadarannya (orang gila)”.

Khitab Allah kepada mukallaf yang berupa al-ahkam al-khamsah sebagaimana dijelaskan diatas dalam istilah hukum Islam disebut dengan hukum taklifi atau hukum syar’i. Sedangkan hukum lainnya disebut dengan hukum wadh’i. Hukum taklifi identik dengan syari’ah. Kerap kali dalam bahasa Indonesia, kata hukum Islam disebut dengan hukum syara’ atau hukum syariat atau bisa juga disebut syariat Islam. Kata syari’ah itu sendiri, secara etimologis, berarti jalan aturan, ketentuan, atau undang-undang Allah SWT. Syari’ah mencakup ajaran Islam keseluruhan, baik yang manusia (Q.s. Asy-Syuura: 13). Sementara secara terminologis, syari’ah berarti aturan atau undang-undang Allah yang berisi tata cara pengaturan perilaku hidup manusia di dunia.

Pengertian syari’ah (baca: syariat) terkadang diartikan secara sempit. Yang dimaksud dengan syariat oleh umumnya umat Islam, diartikan sebagai undang-undang yang berkaitan dengan hukum yang bersifat normatif-aplikatif, sehingga diartikan identik dengan fikih.

Dikalangan umat Islam sering kali dua istilah, yakni syariat dan fikih digabungkan dalam satu kata, yakni hukum Islam tanpa menjelaskan apa yang dimaksud. Penggabungan dua istilah tersebut dapat dipahami karena hubungan keduanya sangat erat, dapat dibedakan tetapi dapat dipisahkan. Seseorang yang akan mempelajari hukum Islam dengan baik dan benar, harus dapat membedakan mana hukum Islam yang disebut syariat Islam dengan fikih Islam di antaranya sebagai berikut.

1. Syariat itu ajarang yang terdapat dalam Al-Qur’an dan kitab-kitab hadits. Kalau seseorang berbicara syariat yang dimaksud adalah firman Allah dan sunnah nabi Muhammad, sedangkan fikih terdapat dalam kitab-kitab fikih, kalau seseorang berbicara tentang fikih, yang dimaksud adalah pemahaman manusia yang memenuhi syarat tentan syariat.
2. Syariat bersifat fundamental, mempunyai ruang lingkup yang lebih luas dari fikih. Fikih bersifat instrumental, ruang lingkupnya terbatas pada apa yang biasanya disebut perbuatan hukum.
3. Syariat adalah ketentuan Allah dan ketentuan Rasulnya karena itu berlaku abadi. Fikih adalah karya manusia yang dapat berubah atau diubah dari masa ke masa.
4. Syariat hanya satu, sedangkan fikih lebih dari satu seperti yang terlihat pada aliran-aliran hukum yang disebut mazhab-mazhab atau mazahib.
5. Syariat menunjukkan kesatuan konsep sedangkan fikih menunjukkan keragaman.

Dari pembahasan yang sudah dikemukakan diatas, jelas bahwa syariat adalah semua ketetapan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya yang bersifat tetap dan tidak dapat diubah-ubah. Sedangkan fikih adalah pemahaman manusia yang memenuhi syarat dalam memahami syariat atau terhadap ketentuan yang ada dalam Al-Qur’an dan al-sunnah terutama yang berkenaan dengan masalah-masalah keseharian baik yang berkaitan dengan pribadi maupun kemasyarakatan. Hukum fikih sebagai sebagai hasil pemahaman manusia terhadap apa yang ada dalam Al-Qur’an dan sebagai hukum yang diterapkan pada kasus tertentu dalam keadaan tertentu, dapat berubah dari satu masa ke masa yang lain dan dapat berbeda antara satu tempat dengan tempat lain. Oleh karena itu, sifatnya zhanny. Sedangkan syariat ada yang zhanny dan ada pula yang qath’i. Pada umumnya syariat yang berkenaan dengan ibadah mahdah sifatnya qath’i, seperti misalnya perintah shalat, zakat, puasa, dan haji. Sedangkan yang berkenaan dengan mu’amalah sifatnya zhanny kecuali mu’amalat di bidang perkawinan dan kewarisan. Karena fikih merupakan hasil pemahaman orang mengenai syariat maka maka fikih tidak boleh menghapuskan syariat.

Asas-asas Hukum Islam

Hukum pada dasarnya ditetapkan untuk kemaslahatan manusia. Dalam hukum Islam, ada lima asas yang menjadi landasan (prinsip), yaitu berikut ini,
1. Hifzhud diin (melindungi agama)
2. Hifzhun nafs (melindungi diri/nyawa)
3. Hifzhun Aql (melindungi akal)
4. Hifzhun irdh (melindungi kehormatan)
5. Hifzhun maal (melindungi harta/properti)

1. Hifzhun Diin (Melindungi Agama)

Agama dalam Islam merupakan landasan fundamental yang melandasi berbagai aspek kehidupan manusia, baik yang berkaitan dengan pribadi, keluarga maupun masyarakat dalam berbagai lingkup dan kaitannya, baik langsung maupun tidak langsung, bersifat fisik maupun nonfisik.

Melindungi agama adalah prioritas utama dari seluruh aspek kehidupan lainnya. Pengorbanan jiwa dan raga dalam rangka mempertahankan agama merupakan wujud nyata melindungi agama itu sendiri. Oleh karena itu, orang yang meninggal dalam rangka membela negara dikategorikan sebagai mati syahid (pahlawan) dan dijamin menempati posisi jannah (surga) tanpa melalui hisab (proses perhitungan).

Amat disayangkan, jika ada umat Islam yang mengorbankan agama untuk kepentingan-kepentingan temporer, seperti kepentingan politik, ekonomi, dan sebagainya. Seharusnya, sebagai pahlawan harus senantiasa memanfaatkan potensi pada dirinya demi agamanya. Sikap yang demikian itulah sebagai perwujudan dari manusia sebagai khalifah (pemangku amanat) Allah dimuka bumi.

2. Hifzhun Nafs (melindungi diri/nyawa)

Manusia menurut kodratnya ingin bertahan hidup. Oleh karena itu, manusia seharusnya berupaya melindungi diri agar terhindar dari berbagai bahaya yang mengancam dirinya. Berbagai hal yang dapat mengganggu kelangsungan hidup harus diupayakan dengan mengerahkan segenap kemampuan. Perintah Allah dalam rangka mempertahankan diri tersebut terdapat dalam banyak ayat, antara lain : walaa tulquu bi-aidiikum ilat tahlukah (janganlah kamu jatuhkan dirimu ke jurang kebinasaan).

Diantara contoh hukum yang berkaitan dengan asas ini, antara lain tentang larangan melakukan bunuh diri. Bunuh diri termasuk perbuatan dosa besar. Demikian pula dengan hukum qisas (nyawa dibalas dengan nyawa), ditetapkan berkaitan erat dengan asas ini.

3. Hifzhul Aql (Melindungi Akal)

Manusia adalah makhluk berakal. Yang membedakan manusia dengan makhluk lain adalah karena manusia mempunyai akal. Oleh karena itu, memelihara dan mengembangkan akal haruslah diberdayakan. Menuntut ilmu termasuk salah satu cara untuk memfungsikan akal tersebut dengan optimal. Penyimpangan dalam memfungsikan akal dapat berakibat kepada hilangnya fungsi kemanusiaan itu sendiri.

4. Hifzhul Al-irdh wan-Nasl (Melindungi Kehormatan dan Keluarga)

Pada kodratnya manusia adalah makhluk seksual. Dengan naluri seksual tersebut manusia mencari pasangannya dan dapat melanjutkan keturunannya. Kecintaan terhadap pasangan (suami/istri) dan keturunan (anak cucu) kadang-kadang melebihi ketimbang kecintaan terhadap dirinya sendiri. Oleh karena kecintaan terhadap anak istri itu, seseorang berupaya melindungi keluarganya dari berbagai hal yang dapat menganggu keutuhan dan kelangsungan keluarganya.

Dalam hal ini, Islam memerintahkan umatnya untuk menikah dan menjauhi perzinaan. Tujuan dari perkawinan itu sendiri tidak lain adalah untuk memelihara kebersihan turunannya dan sekaligus menjaga kehormatan dirinya.

Dalam memenuhi kebutuhan naluri seksualnya, kadang-kadang manusia melakukan penyimpangan sehingga tidak mengindahkan aturan-aturan yang berkaitan dengan dirinya bahkan merugikan orang lain. Hal ini dapat dilihat seperti dalam kasus pelecehan seksual dan perkosaan. Untuk mencegah terjadinya praktek penyimpangan tersebut, Islam mengaturnya melalui hukum pidana perzinaan.

5. Hifzhul Maal (Melindungi Harta/Properti)

Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya manusia memerlukan unsur materi. Dalam rangka memenuhi kebutuhan materi tersebut manusia bekerja sesuai dengan kondisi dalam lapangan kehidupannya. Ada yang bertani, nelayan, dan ada yang menjadi pegawai. Hasil jerih payah dari usaha manusia tersebut haruslah disimpan (saving) dan dikembangkan (investing). Untuk melindungi harta properti tersebut, Islam mengaturnya melalui aturan-aturan dalam hukum mu’amalah (hukum perdata), khususnya yang menyangkut bisnis dan perdagangan.

Dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya, kadang kala terjadi penyimpangan dengan cara yang tidak halal, seperti melakukan tindak pencurian dalam berbagai bentuknya (termasuk korupsi dan manipulasi), perampasan atau perampokan, dan penipuan. Terjadinya bentuk pelanggaran dalam memperoleh harta properti tersebut, diantisipasi dengan ketentuan jarimah hudud (untuk pidana yang mengatur detik-detik ekonomi).

Hukum berkembang sesuai dengan perkembangan peradaban. Hukum Islam pun berkembang sejalan dengan perkembangan peradaban umat. Pada kegiatan belajar ini, akan dibahas tentang perkembangan hukum Islam mulai zaman Nabi Muhammad SAW sebagai kerangka landas pembentukan hukum Islam ; masa Khulafa’ al-Rasyidin; masa pembinaan, pengembangan, dan pembukuan hukum Islam; masa taklid atau masa kelesuan dan kemunduran dan masa kebangkitan kembali hukum Islam.

Posting Komentar untuk "Pengertian, Istilah-istilah Baku, dan Asas-asas Hukum dalam Islam"