Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hukum Islam Masa Pembinaan, Pengembangan, dan Pembukuan Hukum Islam (Abad VII-X M)

Periode pembinaan, pengembangan, dan pembukuan hukum Islam, khususnya Fikih Islam perlu dipahami dan dikaji dengan baik, karena dlam periode inilah hukum Islam ini dikembangkan lebih lanjut. Periode ini berlangsung lebih kurang 250 tahun, dimulai pada bagian kedua abad VII sampai dengan abad X Masehi. Dilihat dari kurun waktu, pembinaan dan pengembangan hukum Islam terjadi pada masa pemerintahan kekhalifahan Umayyah dan kekhalifahan Abbasiyah. Hukum fikih Islam sebagai salah satu aspek kebudayaan Islam mencapai puncak perkembangannya pada masa kekhalifahan Abbasiyah, yang memerintah selama lebih kurang V (Lima) abad. Dimasa inilah lahir para ahli hukum Islam yang menemukan dan merumuskan garis-garis fikih Islam dan pada masa ini pula muncul berbagai teori hukum yang masih dianut dan dipergunakan oleh umat Islam sampai sekarang.

Adapun faktor-faktor yang orang yeng menetapkan hukum dan merumuskan garis-garis hukum adalah semakin luasnya wilayah Islam. Karena wilayah yang sangat luas ini tinggal berbagai suku bangsa dengan asal-usul, adat-istiadat, cara hidup dan kepentingan-kepentingan yang berbeda maka tuntutan untuk menetapkan hukum pun bervariasi juga. Untuk menyatukan mereka didalam satu pola hukum, diperlukan hukum yang jelas yang mengatur tingkah laku mereka dalam berbagai kehidupan. Keadaan inilah yang mendorong para ahli hukum untuk mengkaji, mempelajari dan menentukan kaidah-kaidah atau norma bagi suatu perbuatan tertentu guna memecahkan masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat.

Banyak karya tulis tentang hukum yang dapat dipergunakan sebagai bahan dan landasan untuk membangun serta mengembangkan hukum-hukum Islam dan banyak pula para ahli yang mampu berijtihad memecahkan berbagai masalah dalam masyarakat. Tiap-tiap wilayah mempunyai ahli hukum yang dikenal dengan mufti guna memberikan fatwa-fatwa hukum.

Pada periode inilah muncul para mujtahid yang sampai sekarang masih berpengaruh dan pendapatnya diikuti oleh umat Islam di berbagai belahan dunia. Mereka adalah sebagai berikut:

a. Imam Abu Hanifah
Nama lengkapnya Nu’man bin Tsabit bin Zutha yang populer dengan nama Abu Hanifah. Ia lahir di Kufah tahun 80 Hijriah dan wafat di Baghdad pada tahun 150 Hijriah. Sebagaimana ulama yang lain, sumber syariat bagi Abu Hanifah adalah Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Akan tetapi, ia tidak mudah menerima hadits yang diterimanya. Ia hanya menerima hadits yang diriwayatkan oleh jannah dari jamaah, atau hadits yang disepakati oleh fuqaha’ di suatu negeri dan diamalkan atau hadits ahad yang diriwayatkan dari sahabat dalam jumlah yang banyak (tetapi tidak mutawatir) yang tidak dipertentangkan. Pengikut Imam Abu Hanifah disebut sebagai pengikut mazhab hanafi.

Abu Hanifah dalam menetapkan suatu keputusan hukum (diistilahkan dengan istinbat al-hukm) dikenal sebagai imam ahlul al-ra’yu (kelompok rasionalis). Ia selalu menangkap pesan dibalik nas. Maka ia dikenal ahli bidang ta’lil al-ahkam (khilah hukum) melalui qiyas (analogi), yakni menghubungkan persoalan-persoalan (furu’) kepada sesuatu yang telah ditetapkan hukumnya oleh nas (ashal) dengan melihat kesamaan-kesamaan illat (alasan hukum) maka furu’ sama dengan hukum ashal. 

Apabila hasil qiyas itu terlihat kurang sesuai dengan kebutuhan sosial dilihat dari sisi maslahatnya maka ia akan mencari illat lain yang akan mengalihkan furu’ pada ashal yang lain yang dapat melahirkan ketentuan hukum, sebaliknyadan sesuai dengan tuntutan kemaslahatan masyarakat. Cara semacam ini lazim disebut dengan istihsan, yakni mencari yang terbaik bagi kemaslahatan manusia. Abu Hanifah juga memakai ‘urf (tradisi masyarakat) sebagai ketentuan hukum, sejauh tidak bertentangan dengan nas dan sejalan dengan semangat syari’ah.

Sampai sekarang mazhab Hanafi masih banyak penganutnya, antara lain di Turki, Syria, Libanon, sebagian Afghanistan, Pakistan, Turkistan, India, dan Tiongkok. Murid-muridnya yang cukup dikenal antara lain adalah Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim al-Anshari bin al-Hasan al-Syaibani, Zufar bin Huzail bin Qais al-Kufi dan al-Hasan bin Ziyad al-Lu’lu’i.

b. Malik bin Anas
Ia lahir pada tahun 93 Hijriah dan wafat pada tahun 179 Hijriah. Malik bin Anas tinggal di Madinah dan tidak pernah kemana-mana kecuali beribadah haji ke Mekkah. Seperti imam-imam yang lain, Imam Malik menempatkan Al-Qur’an sebagai sumber hukum pertama, kemudian al-Hadits, sedapat mungkin hadits yang mutawatir atau masyhur. Ia mau juga menggunakan hadits ahad sebagai dalil syar’i kalau memang tidak ada dalil yang lain yang lebih kuat. Meskipun demikian, ia tetap ketat dalam seleksi hadits. Para pengikut Imam Malik disebut dengan bermazhab Maliki.

Diantara langkah penting yang ditawarkan oleh mazhab Maliki dalam berijtihad adalah penggunaan penggunaan al-maslahah al-mursalah. Teori ini diilhami oleh suatu paham bahwa syari’ah Islam bertujuan mendatangkan manfaat, kesejahteraan dan kedamaian bagi kepentingan masyarakat dan mencegah kemudharatan. Menurut Imam Malik, kepentingan bersama merupakan sasaran syariat Islam. Semua produk hukum memprioritaskan kepentingan bersama atas kepentingan orang lain. Dengan teori al-maslahah al-mursalah maka sebenarnya mazhab Maliki tidak begitu terikat oleh pemikiran fiqh ahlul hadits generasi sebelumnya, seperti juga dikembangkan secara konsisten oleh Ahmad bin Hanbal dan secara kaku oleh Mazhab Zahiri.

Imam Malik juga mengangkat tradisi masyarakat Madinah sebagai norma hukum Islam yang boleh dijalankan. Tradisi tersebut merupakan suatu ijma’ (kesepakatan bersama) masyarakat Madinah. Norma-norma tersebut diangkat sebagai norma hukum Islam karena punya akar pada tradisi sahabat dizaman Nabi, dan kemudian diwariskan kepada generasi berikutnya. Menurut Malik, norma tersebut lebih baik daripada hadits ahad.

Metode lain yang digunakan Imam Malik dalam menetapkan suatu keputusan hukum dengan metode saddu al-dzari’ah (menghindari jalan atau sarana). Maksudnya, menetapkan hukum dengan melihat kemungkinan-kemungkinan akibat yang akan timbul dari sesuatu perbuatan. Kalau suatu perbuatan akan menimbulkan mafsadah (kerusakan) atau kemaksiatan, meskipun hukumnya asalnya boleh maka perbuatan tersebut hukumnya haram. Sebaliknya, kalau perbuatan tersebut dapat menimbulkan kemaslahatan maka perbuatan itu tetap boleh atau bahkan mungkin meningkat menjadi wajib.
Diantara ulama besar yang mengembangkan mazhab Maliki adalah Ibnu Rusyd dan al-Syatibi. Adapun murid-muridnya antara lain adalah Abu Abdillah al-Rahman bin al-Qasim al-Utaqi, Abu Muhammad Abdullah bin Wahhab bin Muslim, Abdullah bin Abdul Hakam dan lain-lain. Mazhab Maliki pada umumnya dianut di Maroko, Aljazair, Mesir Selatan, Sudan, Bahrain, dan Kuwait.

c. Muhammad bin Idris al-Syafi’i
Ia lahir di Ghazah atau Asqalan pada tahun 150 Hijriah. Ia berguru kepada Imam Malik di Madinah. Kesetiaannya kepada Imam Malik ditunjukkan dengan nyantri di tempat sang guru hingga sang guru wafat pada tahun 179 Hijriah. Imam Syafi’i pernah juga berguru kepada murid-murid Abu Hanifah. Ia tetapi, tidak lama kemudian kembali ke Irak, yakni pada tahun 198 Hijriah untuk beberapa bulan saja, kemudian berkelana di Mesir. Diantara ulama yang ditemui untuk diambil ilmunya di Baghdad adalah Muhammad bin al-Hasan, murid Abu Hanifah. Ia menetap di Mesir hingga wafat pada tahun 204 Hijriah.

Dalam pengembaraanya, ia kemudian memahami corak pemikiran ahl al-ra’yu dan ahl al-Hadits. Ia berpendapat bahwa tidak seluruh metodel ahl al-ra’yu baik diambil, sama halnya tidak seluruh metode ahl al-Hadits harus diambil. Akan tetapi, menurutnya tidak baik pula meninggalkan seluruh metode berfikir mereka masing-masing. Dengan demikian Imam Syafi’i tidak fanatik terhadap salah satu mazhab, bahkan berusaha menempatkan diri sebagai penengah antara kedua metode berfikir yang ekstrim. Oleh karena pembelaannya terhadap Sunnah melebihi metode al-Sunnah (Sang Pembela Sunnah). Ia juga berpendapat bahwa qiyas merupakan metode yang tepat untuk menjawab masalah yang tidak manshus (tidak ada nas). Menurut Imam Syafi’i, urutan dalam menetapkan hukum adalah :
1) Al-Qur’an dan al-Sunnah;
2) bila tidak ada dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah, ia berpindah ke ijmak;
3) pendapat sebagian sahabat Nabi yang tidak diperselisihkan;
4) pendapat yang kuat dari para sahabat Nabi apabila mereka berbeda pendapat;
5) al-Qiyas.

Imam Syafi’i berpendapat bahwa ayat Al-Qur’an hanya dapat dinasakh oleh Al-Qur’an dan al-Sunnah dihapuskan dengan al-Sunnah juga. Al-Sunnah tidak dapat menasakh Al-Qur’an, karena tugas al-Sunnah hanya menafsirkan bukan membatalkan. Buku karya Imam Syafi’i cukup banyak, akan tetapi yang amat berpengaruh dalam pemikiran hukum Islam adalah al-Umm, tentang keputusan fikih dan al-Risalah yang berkenaan dengan usul fikih. Adapun murid-muridnya antara lain adalah Abu Yaqub Yusuf bin Yahya al-Buwaithi, Abu Ibrahim Ismail Yahya al-Muzami dan Ibrahim Ismail Yahya al-Muzami dan Imam al-Ghazali. Mazhab Syafi’i sekarang diikuti di Mesir, Palestina (juga dibeberapa tempat di Syria dan Libanon), Irak, India, Muangthai, Filipina, Malaysia, dan Indonesia. Pengikut Imam Syafi’i sering disebut sebagai Syafi’iah.

d. Ahmad bin Hanbal
Ahmad bin Hanbal lahir di Baghdad pada tahun 164 Hijriah. Tinggal di Baghdad sampai akhir hayatnya yakni tahun 231 Hijriah. Negeri-negeri yang pernah ia kunjungi untuk belajar antara lain adalah Basrah, Mekkah, Madinah, Syam, dan Yaman. Ia pernah pula berguru kepada Imam Syafi’i tatkala ia berada di Baghdad dan ia pun menjadi murid Imam Syafi’i yang terpenting, bahkan ia menjadi mujtahid mandiri. Ketekunannya mempelajari ilmu fikih dan ilmu Hadits menjadi Imam Ahmad sebagai ulama besar di bidang ilmu fikih dan Hadits. Pengikutnya disebut sebagai pengikut Mazhab Hambali.

Menurut Imam Ahmad, sumber hukum pertama adalah al-nushush, yaitu Al-Qur’an dan al-Hadits yang marfu’ (hadits yang periwayatannya sampai kepada Nabi). Apabila persoalan hukum sudah didapat dalam nas-nas tersebut, ia tidak beranjak ke sumber lain, tidak pula menggunakan “metode ijtihad”. Adapun sumber kedua adalah fatwa para sahabat. Apabila Imam Ahmad mendapat fatwa dan tidak ditemukan pendapat lain yang berbeda dengannya maka ia tidak berpaling ke ra’yu atau qiyas. Bahkan ia menjadikan perkataan sahabat. Hal ini berbeda dengan Imam Hanafi yang memilih berijtihad sendiri seperti halnya masing-masing tabi’in juga berijtihad. Apabila terdapat diantara kedua pendapat sahabat yang bertentangan adalah dengan qiyas.Tetapi hal ini tidak dilakukan oleh Imam Ahmad. 

Disamping itu, Ahmad juga mengambil hadits mursal dan dha’if sekiranya tidak ada dalil yang menghalanginya. Yang dimaksud dengan da’if disini bukan dha’if yang batil dan yang mungkar, tetapi dha’if yang termasuk shahih atau hasan. Atau dengan kata lain, hadits dha’if dalam hal ini adalah hadits dha’if pada tingkat yang paling atas. Menurutnya hadits semacam ini lebih utama daripada menggunakan qiyas. Ia hanya menggunakan qiyas dalam keadaan darurat.
Adapun murid-muridnya adalah al-Asram Abu Bakar Ahmad bin Hani al-Khurasani, Ahmad bin Muhammad bin Hajjaj al-Murawi, al-Qasim, Umar bin Ali al-Husein al-Khiraghi. Sedangkan orang-orang yang dikenal melanjutkan pemikiran fikih Imam Ahmad adalah Ibnu Qudamah Muwaffiquddin. Tokoh yang memperbarui dan melengkapi pemikiran mazhab Hambali, terutama dibidang mu’amalah adalah Syeikh al-Islam Taqiyuddin Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Semula mazhab ini tidak begitu banyak pengikutnya. Akan tetapi, setelah dikembangkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab menjadi mazhab orang Nejed, kini menjadi mazhab resmi pemerintah Kerajaan Saudi.

4. Hukum Islam Pada Masa Taklid atau Kelesuan Pemikiran Hukum Islam (Abad X-XIX M)

Sejak abad keempat Hijriah atau abad kesepuluh dan kesebelas Masehi, hukum Islam mulai berhenti berkembang. Keadaan ini terjadi pada akhir pemerintahan kekhalifahan Abbasiyah. Pada masa ini para ahli hukum Islam hanya membatasi diri mempelajari pikiran-pikiran para ahli sebelumnya yang sudah dituangkan ke dalam buku-buku berbagai mazhab. Sejak itulah mulai gejala mengikuti saja pendapat para ahli sebelumnya (taklid). Para ahli hukum Islam pada saat itu tidak lagi menggali hukum dari sumber aslinya yaitu Al-Qur’an dan al-Sunnah, tetapi hanya mengikuti pendapat-pendapat yang telah ada alam berbagai mazhab. Jika ada orang yang menulis tentang hukum Islam pada umumnya hanya merupakan komentar atau catatan-catatan terhadap pikiran-pikiran hukum yang terdapat dan telah ada dalam mazhabnya sendiri.

Yang menjadi ciri umum pemikiran hukum pada periode ini adalah tidak terfokusnya usaha untuk memahami prinsip-prinsip atau ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah, tetapi hanya sekadar memberikan syarah (penjelasan) dan khulashah (ringkasan) dari pemahaman perkataan-perkataan, pikiran-pikiran hukum para imam-imamnya. Dinamika yang terjadi terus-menerus tidak lagi ditampung dengan pemikiran hukum pula. Pada saat itu, masyarakat yang terus berkembang tidak diiringi dengan pengembangan pemikiran hukum Islam. Bahkan pemikiran hukum Islam berhenti. Keadaan ini dalam sejarah dikenal dengan periode “kemunduran” dalam perkembangan hukum Islam. Keadaan ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain sebagai berikut.
a.Kesatuan wilayah Islam yang luas telah retak dengan munculnya beberapa negara baru baik di Eropa, Afrika, Timur Tengah, dan Asia.
b.Ketidakstabilan politik yang menyebabkan berpikir.
c.Pecahnya kesatuan kenegaraan/pemerintahan menyebabkn merosotnya kewibawaan pengendalian perkembangan hukum.
d.Campur tangan penguasa demi melanggengkan kekuasaaannya.
e.Dengan demikian timbullah gejala kelesuan berpikir dimana-mana dan para ahli tidak lagi mampu menghadapi perkembangan keadaan dengan mempergunakan akal pikiran yang merdeka dan bertanggung jawab.

Hal-hal tersebutlah yang menjadikan perkembangan hukum Islam menjadi lesu.

5. Hukum Islam Masa Kebangkitan Kembali Hukum Islam (Abad XIX – Sekarang)

Setelah mengalami kelesuan dan kemunduran dalam beberapa abad, pemikiran hukum Islam bangkit lagi. Kebangkitan kembali pemikiran hukum Islam ini sebagai reaksi terhadap sikap taklid yang telah membawa kemunduran hukum Islam. Keadaan ini ditandai dengan munculnya gerakan salfiyah yang menginginkan kembali kepada kemurniaan ajaran Islam, yakni kembali kepada Al-Qur’an dan al-Sunnah.

Sebenarnya pada zaman kemunduran Islam juga, yakni sekitar abad ke-14 telah muncul mujtahid besar, namanya Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Pola pemikiran ini kemudian dilanjutkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1787 M) yang terkenal dengan gerakan Wahabi yang mempunyai pengaruh dengan gerakan Paderi di Minangkabau. Usaha ini kemudian diteruskan oleh Jamaluddin al-Afghani, terutama dilapangan politik. Dialah yang memasyhurkan ayat Al-Qur’an surat al-Ra’d ayat 11 yang mengatakan “Allah tidak akan mengubah nasib suatu bangsa kalau bangsa itu sendiri tidak berusaha mengubah nasibnya sendiri”. Ayat ini dipergunakan untuk membangkitkan umat Islam yang pada umumnya dijajah oleh Bangsa Barat.

Menurutnya, kemunduran umat Islam penyebabnya adalah penjajahan barat. Oleh karena itu, penjajah harus dilenyapkan terlebih dahulu. Untuk perlu menggalang persatuan seluruh umat Islam yang dikenal dengan nama “Pan Islamisme”. Gerakan ini diprakarsai oleh Jamaluddin Al-Afghani. Pemikiran dan gerakannya mempengaruhi Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla. Kemudian pemikiran kedua tokoh terakhir ini, juga mempengaruhi pemikiran umat Islam di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Dalam pembaharuannya Muhammad Abduh mengembangkan pemikiran Ibnu Taimiyyah yang membagi ruang lingkup ajaran Islam kedalam dua bidang besar yaitu ibadah dan mu’amalah. Disamping itu, Muhammad Abduh juga mengemukakan beberapa ide-ide baru melalui buku-bukunya yang meliputi berbagai sektor kehidupan. Dibidang hukum yang perlu dicatat adalah bahwa ia tidak terikat dengan sesuatu mazhab yang ada. Ia berani mengambil keputusan yang ada secara bebas dari pendapat yang ada dengan penuh tanggung jawab. Hal ini nampak sekali dalam keputusan-keputusannya pada saat ia menjadi mufti di Mesir.

Mengenai mazhab, Abduh berpendapat aliran-aliran pikiran yang terdapat dalam masyarakat adalah hal yang biasa. Namun, kefanatikan terhadap salah satu mazhab adalah keliru karena dapat menimbulkan perpecahan dalam masyarakat Islam sendiri dan membawa umat Islam ke dalam pecahan-pecahan (firqah) yang terpisah satu dengan yang lain dan saling bermusuhan sehingga tidak bersatu dengan tujuan yang sama. Oleh karena itu, ia tidak memberikan penilaian dan kecenderungan terhadap salah satu mazhab yang ada. Menurutnya, mazhab adalah pandangan atau pendapat saja terhadap dasar-dasar ajaran Islam dan setiap pendapat bisa salah dan bisa benar. Oleh karena itu, seyogyanya pengikut suatu mazhab tidak menganggap bahwa aliran pemikiran dalam mazhabnya yang paling benar. Muhammad Abduh nampaknya ingin menghapuskan atau paling tidak mengurangi dinding pemisah antara pengikut satu mazhab dengan pengikut mazhab lainnya. Muhammad Abduh melakukan gerakan pembaharuan melalui apa yang dikenal dengan neo-Ijtihad dengan reinterprestasi Al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber hukum. Disamping itu, beliau mengembangkan tertib administasi di bidang hukum misalnya pencatatan nikah.

Himbauan Abduh dan ulama-ulama lainnya masih belum membuahkan hasil yang signifikan. Umumnya hukum Islam yang dikembangkan masih didominasi oleh pemikiran hukum pada masa kemunduran, yakni hanya sekedar mengelaborasi isi dari kitab kuning. Wibawa kitab kuning masih cukup kuat. Para pakar yang mencetuskan konsep-konsep hukum Islam yang tidak sejalan dengan kitab kuning dianggap sesat, “nyeleneh” dan sebutan-sebutan sinis lainnya. Jika sikap demikian masih tertanam kuat dikalangan masyarakat muslim maka prinsip hukum untuk menjawab tantangan zaman tidak terpenuhi. Akibatnya, hukum Islam sulit diterima bagi masyarakat modern.

Sebagai jalan keluar maka konsep perbedaan pendapat dalam bidang hukum hendaklah dihargai sepanjang masih dalam koridor yang asasi, artinya mempunyai landasan berpijak pada prinsip-prinsip syari’ah Islam.


Posting Komentar untuk "Hukum Islam Masa Pembinaan, Pengembangan, dan Pembukuan Hukum Islam (Abad VII-X M)"